Lelo Ledhung
Keikhlasan adalah perkara pelik. Dalam memahaminya, seorang gadis menyembunyikan tangisnya dalam kidung Lelo Ledhung
Tak lela lela lela ledhung cep menenga anakku cah ayu
Anakku sing ayu rupane yen nangis ndhak ilang ayune
Pada setiap kehilangan, seorang manusia melakukan penyesuaian. Banyak sekali yang tak utuh; hatimu berlubang, hari-hari hampa, tubuh hilang pilar — tak seimbang, dan ruang chat WhatsApp yang seperti hilang penghuninya. Hambar seperti sayur lupa bumbu, lalu rongga dadamu akan penuh sesak tapi kosong. Terombang-ambing, berayun pilu. Lalu ditutup, entah dengan apa. Sembuh secara harfiah, tapi sebuah kehilangan sebenarnya tetap menjadi lubang — atau barangkali rongga di bawah lapisan yang tertutup.
Aku pun! Perasaan yang sama, dan selalu berulang. Pada setiap kehilangan, aku selalu dihantam perasaan itu. Lalu secara naluriah tubuhku mungkin berusaha untuk sembuh. Tubuhmu juga kan?
Dalam perjalananku sembuh pada setiap kehilangan, kidung Lelo Ledhung adalah teman setiaku; pelindung dari berserah pada keadaan. Kekuatan pada kaki-kaki yang melangkah menuju tenang, tawakal, dan ikhlas. Sebuah kidung pengantar tidur yang dewasa menjelma penenang hati yang berisik, kidung yang mengizinkan aku menangis sekaligus meredakannya pada setiap syair dilantun teriring gamelan.
Lelo Ledhung menjelma cinta leluhur yang entah siapa saja yang diizinkan oleh Gusti Allah menjadi jiwa kidung ini. Perasaan-perasaan yang berat; entah itu tentang kehilangan atau lainnya — misal saja rasa takut dan kebencian, aku tak yakin sejak kapan telah berhasil diredam oleh kidung ini. Syair-syair yang menjelma lirik kidung ini tidak hanya seperti gemericik air yang menenangkan, tapi juga sebuah lecutan semangat pada jiwaku yang tak jarang diujung serah.
Tak gadhang bisa urip mulya dadiya wanita utama
Ngluhurke asmane wong tuwa dadiya pandekaring bangsa
Rapal do’a yang tulus dalam kidung, itu kuncinya! Sudah paten. Aku bisa tak berhenti meluruhkan air dari pelupukku hanya dengan dua larik liriknya itu. Malu dan merepet mohon ampun. Betapa setiap kehilangan — jika dihitung-hitung, sangat sepele dibanding besarnya do’a para tua yang me-lela-lela-ku penuh sayang. Lebih sepele lagi daripada kasih Gusti Allah untukku yang jelas tanpa kealpaan karena AgungNya tak tertaksir oleh sesiapa.
Sebuah misi suci — menjadi seorang wanita utama, tidak digapai dengan merendahkan diri pada sifat-sifat kerdil. Perasaan yang berlarut pada hal lalu dengan probabilitas berubah — melalui penyesalan — sama dengan nihil. Lantas hidup penuh kemuliaan tidak pula didapat dengan menimbun berbagai perasaan benci — dendam dan seterusnya— yang penuh berdesakan pada raga dan sukmanya. Pori-porinya yang cantik berhak bernafas bebas dan lepas dari hitam pekatnya penyakit hati yang satu itu. Segala emosinya tepat terakui, tapi tidak untuk mengaktifkan generator kebencian memupuk dendam. Sekali-kali jangan. Diterima dengan lapang, ditenangkan perlahan.
Wis cep menenga anakku kae mbulane ndadari
Kaya buta nggegilani arep nggoleki cah nangis
Seorang pendekar bukan berarti tak punya hati, tentu saja dipersilahkan berkabung dan menangis. Tapi, rasa sesak itu tak selamanya boleh selalu disilahkan untuk masuk — khawatir sekali malah merasuki dan berkelanjutan. Sebagaimana kidung ini bercerita pada setiap tangis yang berkepanjangan akan mengundang malapetaka — menelannya mentah-mentah pada keberlarutan rasa sedih yang kelabu.
Seorang manusia dengan segala emosi yang sekatnya tak jelas dan saluran yang simpang siur, bertemu dengan berbagai uji-uji hidup yang tak kalah rumit. Berantakan! Tapi toh selesai pula, selalu. Sudah ketetapan. Satu siklus yang mudah sekaligus sukar dipahami, lantas melahirkan konklusi yang berguna sebagai pelajaran hidup di masa depan. Siapa tahu, menjadi berguna untuk seseorang yang menemui kita di masa depan. Jangan terlalu larut, jika dirasa cukup, bolehlah kita tenang dan merangkum simpulan-simpulan seperti seorang akademisi menyusun konklusi penelitiannya. Setiap kita adalah peneliti emosi dan pemelajar kehidupan. Penimba ilmu dalam cerita hidupnya. Jika boleh berlebih-lebih, manusia adalah seorang akademisi sekaligus praktisi dalam kehidupan yang dia jalani; pemberi nasihat ulung sekaligus pelaksana teknis dalam hidupnya. Ahli dalam keduanya namun tak sejalan antara keduanya.
Tak lela lela lela ledhung cep menenga aja pijer nangis
Tak emban slendhang bathik kawung
Yen nangis Romo Ibu bingung
Sebuah akhir dengan penegasan — yang bukan sebuah redundansi ku rasa. Syair penutup yang memohon tenang pada seorang yang kalut. Syair ini membelai sekaligus mengetuk hati, mengingatkan bahwa kesedihan dan pekat hati tak hanya berpengaruh pada seorang saja. Kesedihan adalah sebagaimana energi negatif lainnya: memanggil mendung pada keseluruhan; menyerap energi positif; memunculkan kebingungan bahkan bermuara perpecahan yang tak pernah digadang-gadang oleh sesiapapun. Sudah lah sudah, begitu kata kidung ini. Ikhlaskan saja, katanya.
Ayun lembutnya begitu sederhana, seperti meniupkan aura positif yang semerbak, begitu suka rela menguap bersama energi negatif yang sebelumnya memancar seperti darah yang merah pekat. Perlahan meniup-niup luka dengan semilirnya, menutup dengan kasih sayang seorang leluhur yang cintanya suci dan halus. Doanya tersampaikan, sentuhannya tenang.
Marisa, 2023